Minggu, 12 Desember 2010

Kisah Kesabaran Rasulullah SAW




1. Kesabaran Rasulullah SAW menghadapi pengemis yahudi buta

Bilamana aku membaca kisah ini dan membandingkan diri ku dan keadaaan umat Islam sekarang, aku rasa, macam langit dan bumi, akhlak yang kita amalkan dan akhlak yang Baginda contohkan agar kita amal dan ikuti..
Bilakah agaknya kita mampu menjadikan akhlak Baginda sebagai 'guide line' kita menjalani kehidupan?

Di sudut pasar Madinah ada seorang pengemis Yahudi buta yang setiap
harinya selalu berkata kepada setiap orang yang mendekatinya, Wahai saudaraku, jangan dekati Muhammad, dia itu orang gila, dia itu pembohong,
dia itu tukang sihir, apabila kalian mendekatinya maka kalian akan dipengaruhinya.

Namun, setiap pagi Muhammad Rasulullah SAW mendatanginya dengan membawakan makanan, dan tanpa berucap sepatah kata pun Rasulullah SAW menyuapkan makanan yang dibawanya kepada pengemis itu sedangkan pengemis itu tidak mengetahui bahwa yang menyuapinya itu adalah Rasulullah SAW. Rasulullah SAW melakukan hal ini setiap hari sehinggalah baginda  wafat.

Setelah wafatnya Rasulullah SAW, tidak ada lagi orang yang membawakan
makanan setiap pagi kepada pengemis Yahudi buta itu. Suatu hari sahabat terdekat  Rasulullah SAW yakni Abu Bakar RA berkunjung ke rumah anaknya Aisyah RA yang tidak lain tidak bukan merupakan isteri Rasulullah SAW dan beliau bertanya kepada anaknya itu," wahai Anakku, adakah kebiasaan
kekasihku yang belum aku kerjakan? "

Aisyah RA menjawab,"Wahai ayah, engkau adalah seorang ahli sunnah dan
hampir tidak ada satu kebiasaannya pun yang belum ayah lakukan kecuali satu saja"

"Apakah Itu?", tanya Abu Bakar RA.

"Setiap pagi Rasulullah SAW selalu pergi ke hujung pasar dengan membawakan makanan untuk seorang pengemis Yahudi buta yang ada disana", kata Aisyah RA.

Maka keesokan harinya Abu Bakar RA pergi ke pasar dengan membawa makanan untuk diberikan kepada pengemis itu. Abu Bakar RA pun  mendatangi pengemis itu, lalu memberikan makanan itu kepadanya.
Ketika Abu Bakar RA mulai menyuapinya, sipengemis marah sambil menghardik, "Siapakah kamu?"

Abu Bakar RA menjawab, "Aku orang yang biasa (mendatangi engkau)."

"Bukan! Engkau bukan orang yang biasa mendatangiku," bantah si
pengemis buta itu.

"Apabila ia datang kepadaku, tidak susah tangan ini memegang dan tidak
susah mulut ini mengunyah. Orang yang biasa mendatangiku itu selalu menyuapiku, tapi terlebih dahulu dihaluskannya makanan tersebut,
setelah itu ia berikan padaku", pengemis itu melanjutkan perkataannya.

Abu Bakar RA tidak dapat menahan air matanya, ia menangis sambil berkata
kepada pengemis itu, "Aku memang bukan orang yang biasa datang padamu. Aku adalah salah seorang dari sahabatnya, orang yang mulia itu telah tiada. Ia adalah Muhammad Rasulullah SAW" . Air mata Abu Bakar tidak lagi  dapat di tahan-tahan dari bercucuran

Seketika itu juga pengemis  pun menangis mendengar penjelasan Abu Bakar
RA, dan kemudian berkata, "Benarkah demikian? Selama ini aku selalu menghinanya, memfitnahnya, ia tidak pernah memarahiku sedikitpun,
ia mendatangiku dengan membawa makanan setiap pagi, ia begitu mulia...."

Pengemis Yahudi buta tersebut akhirnya bersyahadat di hadapan Abu Bakar RA saat itu juga dan sejak hari itu menjadi muslim.

Nah, wahai saudaraku, bisakah kita meneladani kemuliaan akhlaq Rasulullah
SAW? Atau adakah setidaknya niat untuk meneladani beliau?

Hari ini.. dimana-mana kita tidak lagi mengamalkan sikap bersabar dan memaafkan. kita dengan mudah melenting, marah dan menghukum. Mengata juga tidak lagi satu bebanan pada kita, apatah lagi membenci dan memandang hina kepada sesiapa saja yang tidak 'sebulu' dengan kita...

Kalaupun tidak bisa kita meneladani beliau seratus peratus, alangkah
baiknya kita berusaha meneladani sedikit demi sedikit, kita mulai dari apa yang kita sanggup melakukannya. yang paling sukar.. sabar dan memaafkan..
tapi yang paling mudah.. cermin diri.. siapa aku berbanding Baginda yang terpilih.. sebagai kekasih Allah.. semulia-mulia manusia..tiada tolok bandingnya Baginda dengan sesiapa pun didunia ini....

Beliau adalah ahsanul akhlaq, semulia-mulia akhlaq.

Ya Rasulullah.. ampuni kami kerana masih gagal mengikuti sunnah Mu..

2. Kesabaran Rasulullah SAW Waktu Marah


Ketika Rasulullah sedang duduk-duduk di tengah para sahabatnya, salah seorang pendeta Yahudi bernama Zaid bin Sa’nah masuk menerobos barisan jama’ah yang melingkarinya, seraya menyambar kain Rasulullah dan menghardiknya dengan kasar. Katanya, “Ya Muhammad! Bayarlah hutangmu. Kamu keturunan Bani Hasyim biasa memperlambat pelunasan.”
Pada waktu itu Rasulullah memang punya hutang kepada orang Yahudi itu, namun belum jatuh tempo. Umar yang melihat peristiwa itu langsung bangkit dan menghunus pedangnya, seraya memohon iin. Ucapnya, “Ya Rasulullah, ijinkanlah aku memenggal leher bedebah ini!”
Tetapi Rasulullah bersabda, “Ya Umar, aku tidak disuruh berdakwah dengan cara begitu. Antara aku dan dia memang sedang membutuhkan kebijaksanaanmu. Suruhlah dia menagih dengan sopan dan ingatkanlah aku supaya melunasinya dengan baik.”
Mendengar sabda Rasulullah tersebut, orang Yahudi itu berkata, “Demi yang mengutusmu dengan kebenaran. Sebenarnya aku tidak datang untuk menagih hutangmu, namun aku datang untuk menguji akhlakmu. Aku tahu, tempo pelunasan utang belum tiba waktunya. Akan tetapi aku telah membaca sifat-sifatmu dalam Kitab Taurat, dan ternyata terbukti semua, kecuali satu sifat yang belum aku uji, yaitu kebijakkanmu bertindak pada waktu marah. Ternyata tindakan bodoh yang ceroboh sekalipun engkau dapat mengatasinya dengan bijaksana. Itulah yang aku lihat sekarang ini. Maka terimalah Islamku ini, ya Rasulullah,
“Asyhadu alaa ilada illallah wa annaka ya Muhammad Rasulullah”
Aku bersaksi tiada tuhan selain Allah dan engkau adalah Rasulullah.”

Cara bersabar dengan membiarkan orang marah tanpa meladeninya merupakan cara efektif dakwah Rasulullah yang sering beliau lakukan. Kesabaran beliau malah mendapat simpati dari seorang Yahudi sehingga dengan kesadarannya sendiri mau memeluk agama Islam.

3. Kesabaran Rasulullah SAW Ketika Diludahi

Bukan hanya sekali saja Nabi dihina. Bahkan ada seorang wanita tua yang berani mencerca Nabi. Setiap kali Nabi melintas muka rumahnya, kala itu pula si wanita meludahkan air liurnya, “cuh,cuh,cuh.” Peristiwa itu berulangkali terjadi, bahkan hampir setiap hari.
Suatu kali, ketika Nabi lewat di depan rumahnya, si wanita tadi tak lagi meludahinya. Bahkan, batang hidungnya saja tak kelihatan pula. Nabi pun menjadi “kangen” akan air ludah si wanita tadi. Karena penasaran, Nabi lantas bertanya kepada seseorang, “Wahai Fulan, tahukah engkau, dimanakah wanita pemilik rumah ini, yang setiap kali aku lewat selalu meludahiku?”
Orang yang ditanya menjadi heran, kenapa Nabi justru menanyakan, penasaran, dan tak sebaliknya merasa kegirangan. Namun, si Fulan tak ambil peduli, oleh karenanya ia segera menjawab pertanyaan Nabi, “Apakah engkau tidak tahu wahai Muhammad, bahwa si wanita yang biasa melidahimu sudah beberapa hari terbaring sakit?” Mendengar jawaban itu Nabi mengangguk-angguk, lantas melanjutkan perjalanan untuk ibadah di depan Ka’bah, bermunajat kepada Allah Pemberi Rahmah.
Sekembalinya dari ibadah, Nabi mampir menjenguk wanita peludah. Ketika tahu, bahwa Nabi, orang yang tiap hari dia ludahi, justru menjenguknya, si wanita menangis dalam hati. “Duhai betapa luhur budi manusia ini. Kendati tiap hari aku ludahi, justru dialah orang pertama yang menjenguk kemari.” Dengan menitikan air mata haru bahagia, si wanita bertanya, “Wahai Muhammad, kenapa engkau menjengukku, padahal tiap hari aku meludahimu?”
Nabi menjawab, “Aku yakin, engkau meludahiku karena engkau belum tahu tentang kebenaranku. Jika engkau mengetahuinya, aku yakin engkau tak akan lagi melakukannya.”
Mendengar ucapan bijak dari amnusia utusan Allah swt ini, si wanita menangis dalam hati. Dadanya sesak, tenggorokannya serasa tersekat. Lantas, setelah mengatur nafas akhirnya ia dapat bicara lepas, “Wahai Muhammad mulai saat ini aku bersaksi untuk mengikuti agamamu.” Lantas si wanita mengikrarkan dua kalimat syahadat.

 4. Kesabaran Rasulullah SAW Menghadapi Umatnya

Diriwayatkan seorang lelaki bangsa Arab bernama Tsamamah bin Itsal dari Kabilah al-Yamamah, pergi ke Madinah Al-Munawarah dengan tujuan hendak membunuh Nabi saw. Dengan tekad bulat dan semangat kuat ia pergi ke majelis Rasulullah saw.
Umar bin Khatthab sudah mencium maksud jahat kedatangan orang itu. Maka ia pergi menghampirinya dan langsung mengusut, “Apa tujuan kedatanganmu ke Madinah? Bukankah engkau seorang musyrik?”
Orang itu terang-terangan berkata, “Aku datang ke negeri ini hanya untuk membunuh Muhammad!”
Mendengar perkataan keji itu Umar dengan cepat dan tangkas langsung melucuti pedangnya, sekaligus meringkusnya. Kemudian orang itu diikat di salah satu tiang masjid.
Umar bin Khatthab segera pergi melaporkan kejadian kapada Rasulullah. Namun Rasulullah yang diutus sebagai rahmat bagi semesta alam tidak menanggapi positif perbuatan sahabatnya. Rasulullah cepat keluar dari rumahnya menemui orang yang hendak membunuhnya. Setelah tiba di tempat majelis, Rasulullah mengamati wajah orang yang hendak membunuhnya itu, sementara Umar sudah tidak sabar menunggu perintah utnuk memenggal leher orang durjana itu.
Sesudah mengamati wajahnya denagn cermat, Rasulullah lalu menoleh kepada para sahabatnya dan bertanya, “Apakah ada diantara kalian yang sudah memberinya makan?”
Umar terdiam sejenak mendengar pertanyaan tersebut. Dia yang tadi menuggu diperintah membunuhnya malah ditanya tentang pemberian makan kepada orang itu. Umar swakan tidak percaya denga apa yang didengarnya, maka dia bertanya, “Makanan apa ya Rasulullah? Makanan apa yang akan dia makan? Orang ini datang ke sini sebagai pembunuh, bukan datang ingin masuk Islam!” Namun Rasulullah tidak menghiraukan uacpan Umar, bahkan beliau memerintahkan, “Tolong ambilkan segelas susu dari rumahku, buka tali pengikat orang itu!”
Umar bin Khatthab bukan main marahnya dengan si musyrik itu. Sesudah ia diberi minum, Rasulullah memerintahkan dengan sopan kepadanya, “Ucapkanlah Tiada Tuhan Selain Allah. Si musyrik menjawab, “Aku tidak akan mengucapkannya.” Rasulullah berkata lagi, “Katakanlah, ‘Aku bersaksi tiada Tuhan selain Allah, dan aku bersaksi Muhammad adalah Rasul Allah’.” Namun orang itu tetap berkata dengan nada keras, “Aku tidak akan mengatakannya!”
Rasulullah kemudian memutuskan untuk membebaskan orang itu, dan orang musyrik itupun bangkit dan pergi seolah-olah hendak kembali ke negerinya. Tetapi belum berapa jauh dia melangkah dari masjid, dia kembali lagi kepada Rasulullah seraya kata, “Ya Rasulullah, aku bersaksi,’Tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasul Allah’.”
Rasulullah bertanya kepadanya, “Kenapa engkau tidak mengucapkannya ketika aku memerintahkan kepadamu?”
Orang itu menjawab, “Aku tidak mau mengucapkannya ketika masih belum kau bebaskan karena aku khawatir ada orang yang menganggap aku masuk Islam karena takut kepadamu. Akan tetapi, setelah aku dibebaskan, aku masuk Islam semata-mata karena mengharap keridhaan Allah Robbul ‘alamin.”
Pada satu kesempatan, Tsamamah bin Itsal berkata, “Ketika aku memasuki kota Madinah, tidak ada seorang pun yang paling aku benci lebih dari Muhammad. Tetapi sesudah aku meniggalkan kota ini, tidak ada seorang pun di muka bumi ini yang lebih kucintai selain Muhammad Rasulullah.”
5. Kesabaran Rasulullah SAW Menghadapi Ancaman Orang Quraisy

Sesudah putus asa karena menghalangi Nabi Muhammad dengan cara kekerasan ternyata tidak menggentarkan Rasulullah saw dan para pengikutnya, Abu Jahal lalu mendatangi Abu Thalib, paman dan pelindung Rasulullah. Abu Jahal meminta agar disampaikan kepada Muhammad bahwa ia akan memberikan apa saja yang dikehendaki Muhammad; gadis-gadis yang paling cantik, harta kekayaan yang melimpah, atau kedudukan terhormat dalam jajaran kepemimpinan bangsa Arab. Abu Thalib segera menyampaikan tawaran Abu Jahal dan suku Quraisy itu kepada Nabi saw.
Dengan tegar Nabi mengatakan, “Demi Allah, wahai pamanku. Andaikata diletakan matahari ditangan kananku dan bulan ditangan kiriku, supaya saya menggagalkan perjuangan menegakan kebenaran, saya takkan surut, sampai tercapai kemenangan atau saya hancur binasa dalam perjuangan.” Itulah benih kegigihan dan ketangguhan Rasulullah semenjak awal perjuangan. Ternyata sifat beliau tidak berubah walaupun sudah berhasil menjadi pemimpin umat yang agung dan disegani.
Pada suatu malam terdengar ribut-ribut diluar kota Madinah. Para sahabat mengira musuh sedang bergerak hendak menyerang kota. Waktu itu Nabi saw sedang tidur. Jadi para sahabat sepakat untuk tidak memebritahukan Rasulullah sebab mereka tahu Nabi amat lelah. Mereka segera memberangkatkan sepasukan tentara menuju ke arah terjadinya ribut-ribut itu. Di tengah perjalanan, sebelum tiba ke tempat itu mereka berpapasan denga Rasulullah yang sedang mengendarai kuda hendak kembali ke Madinah. Di pinggangnya terselempang sebilah pedang.
Nabi berkata, “Wahai para sahabatku yang setia. Pulang sajalah kita ke Madinah. Tidak ada apa-apa di sana. Tidak ada musuh. Aman belaka. Yang ribut-ribut tadi hanya suara kuda yang kedinginan.” Alangkah malunya para sahabat. Ternyata mereka kalah tanggap dan kalah cekatan dibandingkan Rasulullah saw yang disangka masih tertidur lelap di pembaringan.
Dalam suatu peperangan, Nabi terlau capai sampai lengah, beliau terduduk di bawah sebatang pohon tanpa sebilah senjata pun. Seorang pendekar kaum musyirikin yang ditakuti, tiba-tiba muncul di hadapannya, berdiri berkacak pinggang pada saat Nabi terkantuk-kantuk.
Dengan suara lantang, dedengkot musuh yang bernama Da’tsur itu menghardik Rasulullah sambil mengacungkan pedangnya, “Hai Muhammad. Siapa sekarang yang dapat menyelamatkanmu dari keganasan pedangku?”
Nabi tersentak sekejab, lalu menatap mata Da’tsur lurus matanya. Da’tsur tergetar melihat pandangan yang yang sejuk tetapi tidak kenal takut itu. Nabi menjawab tenang, “Karena sebagai manusia, aku sudah tidak punya daya, tiada lagi yang akan melindungi diriku kecuali Allah?”
Da’tsur menggigil mendengar jawaban itu. Macam apa pula kekuatan Allah yang disebut-sebut Muhammad itu, sampai ia yakin Allah pasti melindunginya? Kebimbangannya kian bertambah menyaksikan Nabi tetap tabah, sampai akhirnya pedang Da’tsur terlepas dari genggamannya dan jatuh.
Nabi segera mengambil pedang itu lantas mengacungkannya kepada Da’tsur, “Nah, kini siapakah yang akan menyelamatkanmu dari pedangku?” Dengan bibir bergetar Da’tsur menjawab, “Hanya engkau Muhammad yang dapat menyelamatkanku. Sungguh, hanya engkau belaka.”
Namun Nabi bukanlah tipe pemimpin yang suka menyimpan dendam. Beliau tidak ingin membelas kekerasan dengan kekerasan. Maka beliau segera menyerahkan pedang itu kembali pada Da’tsur selaku pemiliknya. Dengan terjadinya peristiwa tersebut, kelak Da’tsur masuk Islam, dan menjadi pahlawan membela agama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar